Kelompok
4 XI MIPA 2
Nama
Anggota :
- Armilda Kallista (07)
- Erlinda Fatmawati (13)
- Lisnanda Dianitari (20)
- Mita Renate (23)
- Rena Septiyaningrum (26)
- Rima Sofiana (28)
- Sarah Mulawati (29)
PASCA AGRESI MILITER II
Agresi Militer Belanda 2 dimulai ketika
pihak Belanda yang tetap bersikukuh menguasai Indonesia mencari dalih untuk
dapat melanggar perjanjian yang telah disepakati. Bahkan pihak Belanda menuduh
jika pihak Indonesia tidak menjalankan isi perundingan Renville. Oleh karena
itu pihak TNI dan pemerintah Indonesia sudah memperhitungkan bahwa
sewaktu-waktu Belanda akan melakukan aksi militernva untuk menghancurkan
republik dengan kekuatan senjata. Untuk menghadapi kekuatan Belanda itu,
didirikan Markas Besar Komando Djawa (NIBKD) vang dipimpin oleh Kolonel Abdul
Haris Nasution dan Markas Resar Ko.mando Sumatra (MBKS) yangdipimpin oleh
Kolonel Hidayat.
Persiapan untuk menyelenggarakan
pemerintahan rniliter juga dilakukan. Dalam pemerintahan militer, kecamatan
merupakan basis utama pertahanan dengan kekuatan utama tenaga rakyat yang ada
di desa-desa. Pasukan TNI dan pejabat-pejabat pemerintah mempunyai tugas-tugas
sebagai koordinator perlawanan di desa-desa. Tempat untuk mengungsikan kepala
negara dan tokoh-tokoh pemerintah telah disiapkan. Pada hakikatnya Republik
Indonesia telah siap menghadapi Agresi Militer Belanda 2. Seperti yang telah
diduga Belanda benar-benar melakukan serangannya.
Serangan dibuka tanggal 19 Desember
1948. Dengan taktik perang kilat (blitkrieg), Belanda melancarkan serangan di
semua front di daerah Republik Indonesia. Serangan diawali dengan penerjunan
pasukan payung di Pangkalan Udara Maguwo (sekarang Adi Sucipto) dan dengan
gerak cepat berhasil menduduki kota Yogyakarta. Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Moh. Hatta memutuskan untuk tetap tinggal di ibukota, walaupun mereka
tahu bahwa dengan demikian mereka akan ditawan oleh musuh. Alasannya, agar
mereka dapat melakukan kegiatan diplomasi dengan pihak Belanda.
Di samping itu, Belanda tidak mungkin
menjalankan serangan secara terus-menerus karena presiden Panglima Tertinggi
Angkatan Perang Indonesia dan wakil presiden menteri pertahanan sudah berada di
tangan mereka. Sementara itu, beberapa bulan sebelum Belanda melakukan serangan
terhadap kota Yogyakarta, Jenderal Sudirman (Panglima Besar Angkatan Perang)
menderita sakit paru-paru yang sangat parah sehingga harus dirawat di rumah
sakit dan kemudian dirawat di rumah. Ia berpesan jika Belanda menyerang
kembali, maka ia akan memegang kembali pimpinan Angkatan Perang dan memimpin
prajurit-prajuritnya melakukan perlawanan gerilya.
PERANG GERILYA
Perang Gerilya Indonesia - Pasukan
Tentara Belanda melakukan serangan penyerangan militer ke II melakukan serangan
dari udara laut dan darat keseluruh wilayah nusantara.
Pada tanggal 19 Desember 1948. Tujuanya
ialah menguasai nusantara kembali dengan cara keseluruhan, dari pihak Indonesia
tak mungkin melakukan perlawanan perang melewati perang stelling alias frontale
corlog, disebabkan peralatan yang tak lebih dari sisi persenjataan yang tak
lebih memadai untuk mempersiapkan alat alat itu tak memungkinkan bagi Indonesia
sebab Indonesia yang baru membentuk Negara maka belum siap untuk mempersiapkan
alat alat perang itu.
Pasukan Indonesia wajib mencari
tutorial lain untuk menghadapi serangan pasukan belanda yaitu dengan taktik
perang grilia.serangan tentara belanda itu datangnya sangat mendadak yang
sangat susah dihadapi Indonesia dengan cara lansung.perang gredia ini dimasukan
untuk menghadpi masa perang yang panjang dan juga menghindari korban yang tak
sedikit tetapikadang-kadang rakyat dan para tentara kami tak lebih memahami
taktik grelia tersebut.
Perang gerilya adalah tekhnik mengepung
dengan cara tak terkesan (infisibble).Perang gerilya adalah bentuk perang yang
tak terbelit dengan cara resmi pada ketentuan perang.Saat itu perang gerilya
dipimpin oleh Jenderal Sudirman.
Perang gerilya bangsa Indonesia
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
- Menghindari perang terbuka
- Menghantam musuh dengan cara tiba-tiba
- Menghilang ditengah lebatnya hutan alias kegelapan malam
- Menyamar sebagai rakyat biasa.
Memasuki akhir tahun 1947, tentara
rpiblik yang bergerilya mulai terorganisir dan mempunyai komando gerilya yang
dinamis. Akibatnya belanda menjadi kesulitan untuuk menggempur tentararepublik.
Setiap target yang diserang belanda,banyak yang telah kosong,namun pada saat
yang tak disangka-sangka,tentara republik menyerang kedudukan Belandadengan
cepat.Saat Belanda kembali menggencarkan serangan , kubu-kubu tentara republik
telah kosong.
Dengan demikian,Belanda hanya menguasai
kota-kota besar dan jalan raya. Seusai ituSoedirman meninggalkan Yogyakarta
untuk memimpin gerilya dari luar kota. Perjalanan bergerilya selagi delapan
bulan ditempuh tak lebih lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sering Soedirman wajib ditandu alias digendong sebab dalam keadaan sakit keras.
Seusai berpindah-pindah dari berbagai desa rombongan Soedirman kembali ke
Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949. Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima
Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan rakyat Totaliter yang
kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1 Salah satu pokok isinya ialah :
Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal adalah ber
wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan membentuk kantong-kantong
gerilya maka seluruh Pulau Jawa bakal menjadi medan gerilya yang luas. Salah
satu pasukan yang wajib melakukan wingate adalah pasukan Siliwangi.
Pada tanggal 19 Desember 1948
bergeraklah pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah menuju daerah-daerah kantong
yang telah ditetapkan di Jawa Barat. Perjalanan ini dikenal dengannama Long
March Siliwangi. Perjalanan yang jauh, menyeberangi sungai, mendaki gunung,
menuruni lembah, melawan rasa lapar dan letih dibayangi bahaya serangan musuh.
Sesampainya di Jawa Barat mereka terpaksa pula menghadapi gerombolan DI/TII.
Dalam serangan itu Belanda sukses menawan presiden,wakil presiden,dan berbagai
pejabat tinggi lainnya.Presiden Soekarno diterbangkan ke Prapat (Dekat Danau
Toba) dan kemudian ke Bangka.Wakil presiden Hatta langsung ditawan di
Bangka.Setekah itu Belanda menyiarkan kabar keseluruh dunia yang menyebutkan
bahwa RI telah tak ada dan perlawanan
TNI sama sekali tak berarti.Propaganda seperti ini jelas menyudutkan kedudukan
RI di mata dunia Internasional. Kendati demikian,sebelum para pemimpin republik
ditawan,Presiden Soekarno tetap semoat memimpin sidang kabinet dengan cara
singkat.Hasil sidang kabinet tersebut yakni sebagai berikut :
- Pemerintahan Republik Indonesia memberikan amanah melalu radiogram terhadap Menteri Kemakmuran Mr.Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia(PDRI) dibukittinggi,Sumatra.
- Presiden dan Wapres tetap tinggal didalam kota supaya tetap dekat dengan KTN dengan resiko ditawan Belanda.
- Pemimpin TNI bakal menyingkir keluar kota untuk melaksanakan perang gerilya dengan membentuk wilayah komando di Jawa dan Sumatra.
Penyerangan Militer Belanda kali ini
mengajak reaksi dan kecaman dari dunia internasional. Belanda dinilai rutin
mengganggu ketertiban dan perdamaian dunia. Belanda pun dianggapttak
menghormati setiap persetujuan yang dibuatnya.Oleh sebab itu,Dewan Keamanan PBB
mulai menuturkan penyerangan Belanda yang kedua ini.Dalam pertemuan tanggal 28
January 1949,Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang memerintahkan
penghentian semua operasi militer Belanda dan penghentian semua aktivitas
gerilya tentara Republik. Tidak hanya mendapat tekanan dari DK PBB, aksi
militer Belanda kedua ini nyatanya tak didukung oleh negara boneka buatannya
sendiri.Negara Indonesia Timur dan Negara Pasundah mencela dan memprotes
Penyerangan militer kedua ini.Demikian juga Amerika Serikat yang dengan cara
positif telah merubah pandangan atas Indonesia,segera memberikan tekanan
politik terhadap Belanda. AS mengancam tak bakal memberikan bantuan dana dari
program Marshall Plan terhadap Belanda. Dampak terus menerus memperoleh tekanan
politik dari dunia internasional dan terus besarnya performa pasukan Republik
melancarkan serangn gerilya,akhirnya Belanda menerima resoulusi DK PBB.
Resoulusi DK PBB itu telah mengakhiri aksi Belanda dalam penyerangan militer
keduanya.
SERANGAN UMUM 1 MARET
Serangan Umum 1 Maret 1949 ialah
serangan yg dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta
secara besar-besaran yg direncanakan & dipersiapkan oleh jajaran tertinggi
militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan
pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman,
untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI masih ada & cukup
kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dlm
perundingan yg sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan maksud utama
untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia
internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia [TNI] masih mempunyai kekuatan
untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade
X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
Kurang lebih satu bulan sesudah Agresi Militer Belanda II yg dilancarkan pada
bulan Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik
terhadap tentara Belanda yg dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan
kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan sabotase lainnya.
Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos
disepanjang jalan-jalan besar yg menghubungkan kota-kota yg telah diduduki. Hal
ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh
daerah republik yg kini merupaken medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda
yg sudah terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda.
Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater
Hutagalung-yg sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial &
ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II &
III-bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi
Dewan Keamanan PBB & penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut &
melancarkan propaganda yg menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tak ada
lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar
berita tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan
langkah-langkah yg harus diambil guna meng-counter propaganda Belanda.
Hutagalung yg membentuk jaringan di
wilayah Divisi II & III, dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar
Sudirman, & menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan
Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto & Panglima Divisi III, Kol.
Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru, setiap ada
kesempatan, ia juga ikut merawat Panglima Besar Sudirman yg saat itu menderita
penyakit paru-paru. Setelah turun gunung, pada bulan September & Oktober
1949, Hutagalung & keluarga tinggal di Paviliun rumah Panglima Besar
Sudirman di [dahulu] Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta.
Pemikiran yg dikembangkan oleh
Hutagalung adalah, perlu meyakinkan dunia internasional terutama Amerika
Serikat & Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, ada
pemerintahan [Pemerintah Darurat Republik Indonesia -PDRI], ada organisasi TNI &
ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka untuk menembus isolasi, harus
diadakan serangan spektakuler, yg tak bisa disembunyikan oleh Belanda, &
harus diketahui oleh UNCI [United Nations Commission for Indonesia] &
wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk
menyampaikan kepada UNCI & para wartawan asing bahwa Negara Republik
Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional
Indonesia, yg bisa berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis. Panglima Besar Sudirman
menyetujui gagasan tersebut & menginstruksikan Hutagalung agar
mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II &
III.
Letkol. dr. Hutagalung masih tinggal
beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar Sudirman, sebelum kembali ke
markasnya di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yg diberikan oleh Panglima Besar
Sudirman, dlm rapat Pimpinan Tertinggi Militer & Sipil di wilayah Gubernur
Militer III, yg dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yg
terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III
Kol. Bambang Sugeng, & Letkol Wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan
Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, & pucuk pimpinan pemerintahan
sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K. R. M. T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R.
Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking
& Bupati Sangidi. Letkol Wiliater Hutagalung yg pada waktu itu juga sebagai
penasihat Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yg telah disetujui oleh Panglima
Besar Sudirman, & kemudian dibahas bersama-sama yaitu:
- Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yg melibatkan Wehrkreise I, II & III,
- Mengerahkan seluruh potensi militer & sipil di bawah Gubernur Militer III,
- Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,
- Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,
Serangan tersebut harus diketahui dunia
internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari: Wakil Kepala Staf
Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yg dimiliki oleh AURI
& Koordinator Pemerintah Pusat, Unit PEPOLIT [Pendidikan Politik Tentara]
Kementerian Pertahanan.
Tujuan utama dari ini rencana ialah
bagaimana menunjukkan eksistensi TNI & dengan demikian juga menunjukkan
eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional. Untuk menunjukkan
eksistensi TNI, maka anggota UNCI, wartawan-wartawan asing serta para pengamat
militer harus melihat perwira-perwira yg berseragam TNI. Setelah dilakukan
pembahasan yg mendalam, grand design yg diajukan oleh Hutagalung disetujui,
& khusus mengenai “serangan spektakuler” terhadap satu kota besar, Panglima
Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yg harus diserang
secara spektakuler ialah Yogyakarta.
Tiga alasan penting yg dikemukakan
Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah:
- Yogyakarta ialah Ibukota RI, sehingga bila dapat direbut walau hanya untuk beberapa jam, akan berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonesia melawan Belanda.
- Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta, serta masih adanya anggota delegasi UNCI [KTN] serta pengamat militer dari PBB.
- Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tak perlu persetujuan Panglima/GM lain & semua pasukan memahami & menguasai situasi/daerah operasi.
Selain itu sejak dikeluarkan Perintah
Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III,
untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan
beberapa serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat
dikatakan telah terlatih dlm menyerang pertahanan tentara Belanda. Selain itu,
sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur
Wongsonegoro serta para Residen & Bupati, selalu diikutsertakan dlm rapat
& pengambilan keputusan yg penting & kerjasama selama ini sangat baik.
Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh
rakyat.
Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana
serta siapa saja yg perlu dilibatkan. Untuk skenario seperti disebut di atas,
akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi & tegap, yg lancar berbahasa
Belanda, Inggris atau Prancis & akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI
dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dlm kota, & pada
waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna
menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yg
berada di hotel tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT Kementerian
Pertahanan yg juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari
pemuda-pemuda yg sesuai dengan kriteria yg telah ditentukan, terutama yg fasih
berbahasa Belanda & Inggris.
Hal penting yg kedua adalah, dunia
internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia
terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik. Dalam
menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional maka dibantu oleh Kol. T. B.
Simatupang yg bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk
menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI [AURI] di Playen, dekat Wonosari,
agar sesudah serangan dilancarkan berita mengenai penyerangan besar-besaran
oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan.
Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala
Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada
pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan apabila Belanda
melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan
mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat
pasukan Belanda yg kuat seperti Magelang, Semarang & Solo. Jarak tempuh
[waktu itu] Magelang-Yogya hanya sekitar 3-4 jam saja; Solo-Yogya, sekitar 4-5
jam, & Semarang-Yogya, sekitar 6-7 jam. Magelang & Semarang [bagian
Barat] berada di wilayah kewenangan Divisi III GM III, namun Solo, di bawah
wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu,
serangan di wilayah Divisi II & III harus dikoordinasikan dengan baik
sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dlm kurun waktu yg ditentukan,
sehingga bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tak dapat
diperlambat.
Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur
Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun, Bupati Sangidi & Bupati
Sumitro Kolopaking ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan & pasokan
perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering
harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dlm
penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala
Desa sangat berperan dlm menyiapkan & memasok perbekalan [makanan &
minuman] bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur & ditetapkan oleh
pemerintah militer setempat. Untuk pertolongan & perawatan medis,
diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun
konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan Rakyat
Total-sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1-yg dikeluarkan oleh Staf Operatif
[Stop] tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan: Kesehatan terutama tergantung
kepada Kesehatan Rakyat & P. M. I. karena itu evakuasi para dokter &
rumah obat mesti menjadi perhatian.
Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yg
juga ialah Ketua PMI [Palang Merah Indonesia], mengatur pengiriman obat-obatan
bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter & staf PMI kemudian banyak yg
ditangkap oleh Belanda & ada juga yg mati tertembak sewaktu bertugas.
Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreise II & para pejabat sipil pulang
ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas
masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di
Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman &
Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.
Sebagaimana telah digariskan dlm
pedoman pengiriman berita & pemberian perintah, perintah yg sangat penting
& rahasia, harus disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan pasukan
yg bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yg ada di wilayah Wehrkreise
I di bawah pimpinan Letkol. Suharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima
Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Kurir segera dikirim kepada Komandan
Wehrkreise III/Brigade 10, Letkol. Suharto, untuk memberitahu kedatangan
Panglima Divisi III serta mempersiapkan pertemuan. Diputuskan untuk segera
berangkat sore itu juga guna menyampaikan grand design kepada pihak-pihak yg
terkait. Ikut dlm rombongan Panglima Divisi selain Letkol. dr. Hutagalung,
antara lain juga dr. Kusen [dokter pribadi Bambang Sugeng], Bambang Surono
[adik Bambang Sugeng], seorang mantri kesehatan, seorang sopir dari dr. Kusen,
Letnan Amron Tanjung [ajudan Letkol Hutagalung] & beberapa anggota staf
Gubernur Militer [GM] serta pengawal.
Pertama-tama rombongan singgah di
tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yg bermarkas tak jauh dari markas Panglima
Divisi, & memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi & tegap
serta fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis yg akan diberi pakaian
perwira TNI. Menjelang sore hari, Panglima Divisi beserta rombongan tiba di
Pedukuhan Banaran mengunjungi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol.
Simatupang. Selain anggota rombongan Bambang Sugeng, dlm pertemuan tersebut
hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yg kemudian menjadi ipar Simatupang.
Simatupang pada saat itu dimohonkan
untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui pemancar radio AURI di
Playen & di Wiladek, yg ditangani oleh Koordinator Pemerintah Pusat.
Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi segera
mengeluarkan instruksi rahasia yg ditujukan kepada Komandan Wehrkreise I
Kolonel Bachrun, yg akan disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini.
Brigade IX di bawah komando Letkol
Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda dari
Magelang ke Yogyakarta. Tanggal 19 Februari 1949. Panglima Divisi &
rombongan meneruskan perjalanan, yg selalu dilakukan pada malam hari &
beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan
juga selalu berganti di setiap desa. Dari Banaran rombongan menuju wilayah
Wehrkreise III melalui pegunungan Menoreh untuk menyampaikan perintah kepada
Komandan Wehrkreis III Letkol. Suharto. Bambang Sugeng beserta rombongan mampir
di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Sugeng & masih sempat berenang
di telaga yg ada di dekat Pengasih [Keterangan dari Bambang Purnomo, adik
kandung alm. Bambang Sugeng, yg kini tinggal di Temanggung]. Pertemuan dengan
Letkol. Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan
dilakukan di dlm satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan,
maka pertemuan dilakukan di dlm sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dlm
pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III
Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta
ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letkol. Suharto
beserta ajudan. Kepada Suharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan
antara tanggal 25 Februari & 1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat
ditentukan kemudian, sesudah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait,
antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan.
Setelah semua persiapan matang, baru
kemudian diputuskan [keputusan diambil tanggal 24 atau 25 Februari], bahwa
serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06. 00 pagi.
Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yg terkait.
Puncak serangan dilakukan dengan
serangan umum terhadap kota Yogyakarta [ibu kota negara] pada tanggal 1 Maret
1949, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade 10 daerah
Wehrkreise III, sesudah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jalannya
serangan Umum
Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari,
serangan secara besar-besaran yg serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi
III/GM III dimulai, dengan fokus serangan ialah Ibukota Republik, Yogyakarta,
serta koar-besaran oleh pasukan Brigade X yg diperkuat dengan satu Batalyon
dari Brigade IX, sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang
& penghadangan di jalur [[Magelta-kota di sekitar Yogyakarta, terutama
Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yg dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM
III Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun &
Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yg bersamaan, serangan juga
dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan ialah kota Solo,
guna mengikat tentara Belanda dlm pertempuran agar tak dapat mengirimkan
bantuan ke Yogyakarta.
Pos komando ditempatkan di desa Muto.
Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati
kota & dlm jumlah kecil mulai disusupkan ke dlm kota. Pagi hari sekitar
pukul 06. 00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala
penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan
dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor Timur dipimpin Ventje
Sumual, sektor selatan & timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh
Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono
& Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta
selama 6 jam. Tepat pukul 12. 00 siang, sebagaimana yg telah ditentukan semula,seluruh
pasukkan TNI mundur
Serangan terhadap kota Solo yg juga
dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan Belanda di Solo sehingga tak
dapat mengirim bantuan dari Solo ke Yogyakarta, yg sedang diserang secara
besar-besaran -Yogyakarta yg dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat
memperlambat gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara
Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik, &
sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11. 00.
Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan
secara besar-besaran yg serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III
dimulai, dengan fokus serangan ialah Ibukota Republik, Yogyakarta, serta
koar-besaran oleh pasukan Brigade X yg diperkuat dengan satu Batalyon dari
Brigade IX, sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang &
penghadangan di jalur [[Magelta-kota di sekitar Yogyakarta, terutama Magelang,
sesuai Instruksi Rahasia yg dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III Kolonel
Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun & Komandan
Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yg bersamaan, serangan juga dilakukan di
wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan ialah kota Solo, guna
mengikat tentara Belanda dlm pertempuran agar tak dapat mengirimkan bantuan ke
Yogyakarta. Pos komando ditempatkan di desa Muto. Pada malam hari menjelang
serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota & dlm jumlah kecil
mulai disusupkan ke dlm kota. Pagi hari sekitar pukul 06. 00, sewaktu sirene
dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam
penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat
sampai ke batas Malioboro.
Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual,
sektor selatan & timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor
Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono &
Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama
6 jam. Tepat pukul 12. 00 siang, sebagaimana yg telah ditentukan semula,seluruh
pasukkan TNI mundur
Serangan terhadap kota Solo yg juga
dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan Belanda di Solo sehingga tak
dapat mengirim bantuan dari Solo ke Yogyakarta, yg sedang diserang secara
besar-besaran -Yogyakarta yg dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat memperlambat
gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari
Magelang dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik, & sampai di
Yogyakarta sekitar pukul 11. 00.
Serangan
Besar-Besaran Tentara Nasional Republik Indonesia Terhadap Belanda
Mr. Alexander Andries Maramis, yg
berkedudukan di New Delhi menggambarkan betapa gembiranya mereka mendengar
siaran radio yg ditangkap dari Burma, mengenai serangan besar-besaran Tentara
Nasional Republik Indonesia terhadap Belanda. Berita tersebut menjadi Headlines
di berbagai media cetak yg terbit di India.
Hal ini diungkapkan oleh Mr. Maramis
kepada dr. W. Hutagalung, ketika bertemu di tahun 50-an di Pulo Mas, Jakarta.
Serangan Umum 1 Maret mampu menguatkan posisi tawar dari Republik Indonesia,
mempermalukan Belanda yg telah mengklaim bahwa RI sudah lemah. Tak lama sesudah
Serangan Umum 1 Maret terjadi Serangan Umum Surakarta yg menjadi salah satu
keberhasilan pejuang RI yg paling gemilang karena membuktikan kepada Belanda,
bahwa gerilya bukan saja mampu melakukan penyergapan atau sabotase, tetapi juga
mampu melakukan serangan secara frontal ke tengah kota Solo yg dipertahankan
dengan pasukan kavelerie, persenjataan berat-artileri, pasukan infantri &
komando yg tangguh. Serangan umum Solo inilah yg menyegel nasib Hindia Belanda
untuk selamanya.
Dokumen dapat dilihat di bawah ini atau dapat di download Disini
Comments
Post a Comment