MOHAMMAD HATTA
Oleh :
1. Elviana Prihatiningsih (10/XI MIPA 2)
2. Rima Sofiana
(28/XI MIPA 2)
3. Wulan Mulia (31/XI MIPA 2)
Mohammad Hatta
Biografi Mohammad Hatta
Nama : Dr. Mohammad Hatta (Bung Hatta)
Lahir : Bukittinggi, 12 Agustus 1902
Wafat : Jakarta, 14 Maret 1980
Istri : Rahmi Rachim
Anak :
Nama : Dr. Mohammad Hatta (Bung Hatta)
Lahir : Bukittinggi, 12 Agustus 1902
Wafat : Jakarta, 14 Maret 1980
Istri : Rahmi Rachim
Anak :
·
Meutia Farida Hatta Swarsono
·
Gemala Hatta
·
Halida Nuriah
Gelar
Pahlawan : Pahlawan Proklamator RI
Pendidikan :
Ø
Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi (1916)
Ø
Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang (1919)
Ø Handel
Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang), Jakarta (1921)
Ø Gelar Drs
dari Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)
Karir :
Ø Bendahara
Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919)
Ø Bendahara
Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921)
Ø Ketua
Perhimpunan Indonesia di Belanda (1925-1930)
Ø Wakil
delegasi Indonesia dalam gerakan Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan,
Berlin (1927-1931)
Ø Ketua
Panitia (PNI Baru) Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)
Ø Kepala
Kantor Penasihat pada pemerintah Bala Tentara Jepang (April 1942)
Ø Anggota
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Mei 1945)
Ø Wakil Ketua
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (7 Agustus 1945)
Ø Proklamator
Kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945)
Ø Wakil
Presiden Republik Indonesia pertama (18 Agustus 1945)
Ø Wakil
Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (Januari 1948 -
Desember 1949)
Ø Ketua
Delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan menerima
penyerahan kedaulatan dari Ratu Juliana (1949)
Ø Wakil
Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kabinet Republik
Indonesia Serikat (Desember 1949 - Agustus 1950)
Ø Dosen di
Sesko Angkatan Darat, Bandung (1951-1961)
Ø Dosen di
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1954-1959)
Ø Penasihat
Presiden dan Penasihat Komisi IV tentang masalah korupsi (1969)
Ø Ketua
Panitia Lima yang bertugas memberikan perumusan penafsiran mengenai Pancasila
(1975)
Penghargaan
:
Ø
Pahlawan Nasional
Ø Bapak
koperasi Indonesia
Ø Doctor
Honoris Causa, Universitas Gadjah Mada, 1965
Ø Proklamator
Indonesia
Ø The Founding
Father's of Indonesia
Masa
Studi di Negeri Belanda
Pada
tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School
di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922,
perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang
menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi
Perhimpunan Indonesia (PI). Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan,
Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada
tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Hatta lulus
dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia
bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925.
Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka
jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki
jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.
Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI
pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato
inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en
Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan.
Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk
landasan kebijaksanaan non-kooperatif. Sejak tahun 1926 sampai 1930,
berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI
berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang
mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui
oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos
depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa. PI melakukan propaganda
aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa
dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta
sendiri yang memimpin delegasi.
Pada tahun
1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin
delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville,
Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh
kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda
ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi
internasional. Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman
penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres
internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres
ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G.
Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi
negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz
Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan
Nehru mulai dirintis sejak saat itu.
Pada
tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi
"Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland,
Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence
(Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan). Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali
Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima
setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag
membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu,
Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan
sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia
Merdeka. Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta
penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist.
Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.
Kembali
ke Tanah Air
Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda
dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933,
kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk
Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan
kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip
non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya. Reaksi Hatta yang keras
terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial
Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat
pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul "Soekarno
Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 Nopember
1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933).
Pada
bulan Februari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial
Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia.
Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang
ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah
Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun
Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka
dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di
penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.
Masa
Pembuangan
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven
Digoel (Papua).
Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja
untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan
dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan
makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta
menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di
Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak
perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.
Dalam
pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar
Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat
pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya
yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta
mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya
di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan
bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara
lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam
Pikiran Yunani." (empat jilid).
Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan
bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari
1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo
dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul
bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat
dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.
Kembali Ke Jawa pada saat Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 3 Februari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada
tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan
pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta. Pada masa
pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta
mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya,
apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara,
Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta
mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan
pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta
sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui,
apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu
didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan
September 1944.
Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang
diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8
Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas
dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi
jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda
Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada
mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."
Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan
Soekarno sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya
terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa
dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa. Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam,
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di
rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00
pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik
memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan.
Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan
agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan
itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya
menanti. Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh
dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan
bertepuk tangan riuh.
Tanggal 17
Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad
Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan
Pengangsaan Timur 56 Jakarta. Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat
sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi
Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa
Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.
Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda
yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta
ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian
Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan
akibat kecurangan pihak Belanda. Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli
I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi.
dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju
Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana
Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan
protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.
Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI
melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi
kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan
Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana.
Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata. Pada
tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi
Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan
Indonesia dari Ratu Juliana. Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu
Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.
Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan
ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis
berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga
aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi
ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk
menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam
gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak
Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran
Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul
Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).
Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante
pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil
Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk
surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada
Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden,
Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l
Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden
Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.
Pada tangal 27 November 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu
Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta.
Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul
“Lampau dan Datang”. Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil
Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan
tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru
besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang
memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia
memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan
Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.
Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah
Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan
dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.
Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh
bagi bangsanya daripada seorang politikus. Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada
tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka
mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida
Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr.
Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta
sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan
Mohamad Athar Baridjambek.
Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden
Soeharto
menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan
tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara
kenegaraan di Istana Negara. Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden
Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr
Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah
Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.
Dokumen dapat dilihat di bawah ini atau dapat di download Disini
Comments
Post a Comment