Oleh :
1.
Eni Nur Hidayati (11)
2.
Reyhan Ibnu A (27)
Latief Hendraningrat
Brigadir Jenderal TNI (Purn.) Raden Mas
Abdul Latief Hendraningrat Pengibar Bendera Pusaka Sewaktu Proklamasi
- lahir di Jakarta, 15 Februari 1911 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1983
pada umur 72 tahun) adalah seorang prajurit PETA berpangkat Sudanco pengerek
bendera Sang Saka Merah Putih tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur
56. Beliau mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Hukum. Saat menjadi
mahasiswa itu ia sekaligus mengajar bahasa Inggris di beberapa sekolah menengah
swasta, seperti yang dikelola oleh Muhammadiyah dan Perguruan Rakyat. Ia pernah
dikirim oleh pemerintah Hindia Belanda ke World Fair) di New York, sebagai
ketua rombongan tari. Dalam masa pendudukan Jepang ia giat dalam Pusat Latihan
Pemuda (Seinen Kunrenshoo), kemudian menjadi anggota pasukan Pembela Tanah Air
(Peta).
Dalam masa setelah Proklamasi Kemerdekaan, beliau terlibat dalam berbagai pertempuran. Kemudian menjabat komandan Komando Kota ketika Belanda menyerbu Yogyakarta (1948). Setelah berhasil keluar dari Yogyakarta yang sudah terkepung, beliau melakukan gerilya. Setelah penyerahan kedaulatan, beliau mula-mula ditugaskan di Markas Besar Angkatan Darat, kemudian ditunjuk sebagai atase militer Rl untuk Filipina (1952), lalu dipindahkan ke Washington hingga tahun 1956. Sekembalinya di Indonesia beliau ditugaskan memimpin Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD, yang kini menjadi Seskoad). Jabatannya setelah itu antara lain rektor IKIP Negeri Jakarta (1964-1965). Pada tahun 1967 Hendraningrat memasuki masa pensiun dengan pangkat brigadir jenderal. Sejak itu beliau menjadi seorang wiraswastawan dan aktif di Yayasan Perguruan Rakyat, organisasi Indonesia Muda dan ASITA (Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies).[gs]
Karier Militer
Pasukan PETA Latief
bermarkas di bekas markas pasukan Kavaleri Belanda di Kampung Jaga
Monyet, yang kini bernama jalan Suryopranoto di depan Harmoni. Setelah
bergabung dengan TNI, kariernya menanjak terus dan bahkan sempat menjadi
Rektor IKIP Jakarta (kini Universitas Negeri Jakarta) pada tahun 1964-1965.
Dalam masa pendudukan Jepang, Abdul Latief Hendraningrat giat dalam Pusat
Latihan Pemuda (Seinen Kunrenshoo), yang selanjutnya dia menjadi anggota
pasukan Pembela Tanah Air (PETA). Dalam masa setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, Abdul Latief Hendraningrat terlibat dalam berbagai
pertempuran. Kemudian menjabat komandan Komando Kota ketika Belanda menyerbu
Yogyakarta (1948). Setelah berhasil keluar dari Yogyakarta yang sudah
terkepung, ia melakukan gerilya. Setelah penyerahan kedaulatan, Abdul Latief
Hendraningrat mula-mula ditugaskan di Markas Besar Angkatan Darat, kemudian
ditunjuk sebagai atase militer Rl untuk Filipina (1952), lalu dipindahkan ke
Washington hingga tahun 1956. Sekembalinya di Indonesia ia ditugaskan
memimpin Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) yang kini
menjadi (Seskoad). Jabatannya setelah itu antara lain rektor IKIP Negeri
Jakarta (1965). Pada tahun 1967 Hendraningrat memasuki masa pensiun dengan
pangkat Brigadir Jenderal. Sejak itu ia mencurahkan segala perhatian dan
tenaganya bagi Yayasan Perguruan Rakyat dan organisasi Indonesia Muda.
Ia
merupakan cucu dari Djojo Dirono, Bupati Lamongan yang
memerintah pada tahun (1885-1937). Sehingga ia juga memiliki darah
dari Ken Arok, Jaka Tingkir dan Mangkunegara I.
Seorang
pemuda yang sampai saat ini tak tercatat namanya menggunakan kemeja lengan
pendek dan celana pendek longgar. Sementara yang satu lagi memagai seragam PETA
(Pembela Tanah Air), lengkap dengan atribut, topi pet dan pedang panjang.
Dialah pemudah Abdul Latief Hendraningrat yang menggerek bendera ke puncak
tiang. Dengan gagahnya, bendera berkibar melambai – lambai di angkasa Indonesia
ditiup angin pagi.
Latief
adalah salah seorang pemuda Indonesia yang pertama kali mengibarkan bendera
pusaka. Ia telah mengibarkan lambang kebanggaan bangsa itu dengan semangat
kepahlawanan, tanpa dikawal pasukan, tanpa formasi dan tanpa aba – aba. Namanya
memang cenderung tidak pernah disebut – sebut orang, tapi ia adalah satu dari
sekian banyak pemuda yang mengambil peran dalam proklamasi kemerdekaan.
Dilahirkan
di Jakarta dari keluarga RM Said Hendraningrat, 15 Februari 1911. Abdul Latief
Hendraningrat pernah mengecap pendidikan di sekolah dasar Europese Ingere
School (ELS) di Jakarta. Pasuruan dan Cianjur. Sekolah menengah juga
dijalaninya lewat MULO (serta SMP) di Bandung dan Surabaya. Serta AMS-B (setara
SMA) di Malang.
Latief
termasuk beruntung karena di zaman penjajahan Belanda masih bisa menikmati pendidikan
secara lengkap. Seusai menamatkan AMS-B, Ia berhasil meneruskan sekolah sekolah
ke Rechts Hooge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta. Enam tahun sebelum
proklamasi kemerdekaan, Ia juga sempat menimba ilmu di Teacher College di
Columbia University New York.
Sejak
muda, Latief memang aktif sebagai anggota perkumpulan Indonesia Moeda dan
Soeryawirawan (kelompok kepanduan Partai Indonesia Raya). Tahun 1939, bahkan ia
sempat memimpin rombongan kesenian Hindia Belanda dalam event New York World
Fair I di Amerika serikat.
Dalam
sejarah pemerintahan, Latief pernah menjabat Wedana Betawi. Dalam profesinya,
ia juga pernah mengabdikan diri di dunia pendidkan sebagai guru bahsa Inggris
di Perguruan Rakyat dan Muhammadiyah Jakarta. Pada saat pendudkan Jepang, ia
masuk Chou Zeinen Kurunzo se Jawa, lalu masuk PETA di Jakarta sebagai Chu
Dancho pada tahun 1943.
Setelah
kemerdekaan, pada kurun waktu tahun 1952 – 1957, Latief menjadi Atasan Militer
RI di Manila dan Washington. Selama setahun setelah itu (1957 – 1958) ia
ditunjuk sebagai direktur Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad), lalu
menjadi sekretaris Militer Presiden pada tahun 1959.
Dalam
dunia politik, Latief tercatat sebagai anggota DPR – GR pada periode 1960 –
1965. Setelah itu, ia kembali terjun ke dunia yang lama ditinggalkannya,
pendidikan, dengan menjadi rector IKIP Rawamangun Jakarta selama satu tahun
(1965 – 1966).
Dunia
militer, pendidikan dan social kemasyarakatan agaknya tetap menjadi bagian yang
tak terpisahkan dalam hidup Latief. Saat tidak lagi menjalani tugas Negara, ia
masih menyumbangkan tenaga dan pikirannya bersama rekan – rekan angkatan ’45 di
Markas Komando Djawa (MBRD) dan bersedia ditunjuk sebagai ketua umum yayasan 19
Desember 1948.
Yayasan
yang dipimpinnya berhasil merampungkan pembangunan dua monument Perang Rakyat
Semesta, masing – masing di Boro Kulon progo (Yogyakarta) yang diresmikan Wakil
Presiden Adam Malik pada tahun 1982 dan di Kepurun Menisrenggo, Klaten (Jawa
Tengah).
Senin
malam, 14 Maret 1983 pukul 21.00 WIB, Latief Hendraningrat meninggal dengan
tenang pada usia 72 tahun di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot
Subroto Jakarta. Selama dua minggu sebelumnya, ia sempat dirawat karena
penyakit usus buntu.
Dengan
pangkat kemiliteran terakhir Brigadir Jenderal dan dinaikkan menjadi Mayor
Jenderal, jenazah Latief Hendraningrat disemanyamkan di rumah kediaman Jalan
Mangunsarkoro Jakarta Pusat sebelum dikebumikan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata. Upacara kemiliteran dipimpin oleh Menko Kesra Surono yang saat itu
juga menjadi ketua umum Dewan Harian Nasional Angkatan ’45.
Almarhum
Latief meninggalkan seorang istri serta seorang putra dan tiga putri. Tapi,
dalam sejarah perjalanan bangsa, ia sebenarnya meninggalkan jejak – jejak yang
demikian banyak dan panjang, seperti juga ia meninggalkan tapak – tapak
pengibaran bendera pusaka kepada Paskibraka.
Dokumen dapat dilihat di bawah ini atau dapat di download Disini
Comments
Post a Comment