TUGAS SEJARAH
Anggota
kelompok 6 :
1.
Ayu
Wulandari (08)
2.
Rena
Septiyaningrum (26)
A. BIOGRAFI TOKOH
BURHANUDDIN MOHAMMAD DIAH
Burhanuddin Mohammad Diah (lahir di
Kutaraja, yang kini dikenal sebagai Banda Aceh , 7 April 1917 – meninggal di
Jakarta , 10 Juni 1996 pada umur 79 tahun) adalah seorang tokoh pers, pejuang
kemerdekaan, diplomat , dan pengusaha Indonesia.
Masa
kecil
Nama
asli B.M. Diah yang sesungguhnya hanyalah Burhanuddin. Nama ayahnya adalah
Mohammad Diah, yang berasal dari Barus , Sumatera Utara. Ayahnya adalah seorang
pegawai pabean di Aceh Barat yang kemudian menjadi penerjemah. Burhanuddin
kemudian menambahkan nama ayahnya kepada namanya sendiri. Ibunya, Siti Sa'idah
(istri pertama Diah) adalah wanita Aceh yang menjadi ibu rumah tangga.
Burhanuddin, anak bungsu dari 8 bersaudara, juga mempunyai dua orang saudara
tiri
dari istri kedua ayahnya. Mohammad Diah adalah seorang yang terpandang dan kaya di lingkungannya. Namun hidupnya boros, sehingga ketika ia lahir Burhanuddin tidak dapat menikmati kekayaan ayahnya. Ditambah lagi karena seminggu setelah kelahirannya, ayahnya meninggal dunia. Ibunya kemudian mengambil alih tanggung ke dunia usaha berjualan emas, intan, dan pakaian. Namun delapan tahun kemudian Siti Sa'idah pun berpulang, sehingga Burhanuddin diasuh oleh kakak perempuannya, Siti Hafsyah.
dari istri kedua ayahnya. Mohammad Diah adalah seorang yang terpandang dan kaya di lingkungannya. Namun hidupnya boros, sehingga ketika ia lahir Burhanuddin tidak dapat menikmati kekayaan ayahnya. Ditambah lagi karena seminggu setelah kelahirannya, ayahnya meninggal dunia. Ibunya kemudian mengambil alih tanggung ke dunia usaha berjualan emas, intan, dan pakaian. Namun delapan tahun kemudian Siti Sa'idah pun berpulang, sehingga Burhanuddin diasuh oleh kakak perempuannya, Siti Hafsyah.
Burhanuddin
belajar di HIS , kemudian melanjutkan ke Taman Siswa di Medan . Keputusan ini
diambilnya karena ia tidak mau belajar di bawah asuhan guru- guru Belanda .
Melanjutkan sekolah dan bekerja Pada usia 17 tahun, Burhanuddin berangkat ke
Jakarta dan belajar di Ksatriaan Instituut (sekarang Sekolah Ksatrian) yang
dipimpin oleh Dr. E.E. Douwes Dekker. Burhanuddin memilih jurusan jurnalistik ,
namun ia banyak belajar tentang dunia kewartawanan dari pribadi Douwes Dekker.
Burhanuddin sesungguhnya tidak mampu membayar biaya sekolah. Namun melihat
tekadnya untuk belajar, Dekker mengizinkannya terus belajar dan bahkan
memberikan kesempatan kepadanya menjadi sekretaris di sekolah itu.
Setelah
tamat belajar, Burhanuddin kembali ke Medan dan menjadi redaktur harian Sinar
Deli. Ia tidak lama bekerja di sana, karena satu setengah tahun kemudian ia
kembali ke Jakarta dan bekerja di harian
Sin Po sebagai tenaga honorer. Tak lama kemudian ia pindah ke Warta Harian.
Tujuh bulan kemudian, koran itu dibubarkan karena dianggap membahayakan
keamanan. Burhanuddin kemudian mendirikan usahanya sendiri, bulanan
Pertjatoeran Doenia .
Setelah
tentara Jepang datang dan menjajah Indonesia, Burhanuddin bekerja di Radio Hosokyoku
sebagai penyiar siaran bahasa Inggris . Namun pada saat yang sama ia pun
merangkap bekerja di Asia Raja. Ketika ketahuan bahwa ia bekerja juga di tempat
lain, Burhanuddin pun dijebloskan ke penjara selama empat hari. Menikah dan
mendirikan "Merdeka" Ketika bekerja di Radio Hosokyoku itulah
Burhanuddin bertemu dengan Herawati , seorang penyiar lulusan jurnalistik dan
sosiologi di Amerika Serikat. Mereka berpacaran, dan tak lama kemudian, pada 18
Agustus 1942 mereka menikah. Pesta pernikahan mereka ini dihadiri pula oleh
Bung Karno dan Bung Hatta .
Pada
akhir September 1945, setelah diumumkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia, Diah bersama sejumlah rekannya seperti Joesoef Isak dan Rosihan
Anwar, mengangkat senjata dan berusaha merebut percetakan Jepang "Djawa
Shimbun", yang menerbitkan Harian Asia Raja. Meskipun Jepang telah
menyerah kalah, teman- teman Diah ragu-ragu, mengingat Jepang masih memegang
senjata. Namun kenyataannya malah sebaliknya. Tentara Jepang yang menjaga percetakan
tidak melawan, bahkan menyerah. Percetakan pun jatuh ke tangan Diah dan rekan-
rekannya.
Keluarga
B.M.
Diah meninggalkan dua orang istri, Herawati Diah dan Julia binti Abdul Manaf,
yang dinikahinya diam-diam ketika ia bertugas di Bangkok, Thailand. Dari
Herawati, ia memperoleh dua orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki,
sementara dari istri keduanya ia memperoleh dua orang anak: laki-laki dan
perempuan.
Penghargaan
Karena
perjuangan dan jasa-jasanya bagi negara,
Diah dianugerahi tanda-tanda penghargaan berikut: Bintang Mahaputra Utama dari
Presiden Soeharto (10 Mei 1978) Piagam penghargaan dan Medali Perjuangan Angkatan '45 (17 Agustus 1995)
B. PERAN TOKOH
Beliau
merupakan tokoh yang berperan sebagai wartawan dalam menyiarkan kabar berita
Indonesia Merdeka ke seluruh penjuru
tanah air. Setelah perumusan teks proklamasi disetujui hadirin kemudian diketik
oleh Sayuti Melik akan tetapi konsep teks proklamasi itu dibiarkan begitu saja,
oleh karena itu segera diambil dan dicetak oleh BM. Diah untuk disebarkan ke
seluruh Indonesia. Pekerjaan tersebut dilakukan para pemuda yang bekerja di
kalangan pers di bawah pimpinannya.
Sepanjang hidupnya Diah memang menjalani karir sebagai seorang wartawan
yang mendirikan Harian Merdeka pada 1 Oktober 1945. BM Diah juga pernah menjadi
duta besar untuk Cekoslowakia, Inggris dan Thailand pada masa Soekarno, juga
menjabat menteri penerangan di awal pemerintahan Soeharto.
C. KETELADANAN TOKOH
B.M
Diah adalah seorang wartawan sejati. Walau pernah menjadi menteri penerangan
dan duta besar, beliau tak pernah melepas ikatannya dengan dunia kewartawanan.
Beliau sangat berjasa di bidang pers dengan banyaknya pemikiran-pemikirannya
yang bermanfaat untuk kemajuan bangsa ini. B.M Diah adalah generasi tiga zaman
yang menunjukkan dalam cita-cita dan perilakunya, suatu garis yang konsisten
dan konsekuen untuk menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam pancasila.
Dokumen dapat dilihat di bawah ini atau dapat di download Disini
Comments
Post a Comment