Oleh Kelompok 2 :
- Agus Sri Widodo ( 02 )
- Armilda Kallista ( 07 )
- Eni Rohmawati ( 12 )
- Imani Wegig W ( 17 )
- Metta Dwi Yanti ( 22 )
- Reyhan Ibnu A ( 27 )
Kebijakan Jepang pada Akhir Masa
Pendudukan di Indonesia
Masa pendudukan Jepang di Indonesia berlangsung kurang lebih
tiga setengah tahun, tetapi sangat berdampak bagi Indonesia. Secara kronologis
serangan-serangan pasukan Jepang di Indonesia adalah sebagai berikut: diawali
dengan menduduki Tarakan (10 Januari 1942), kemudian Minahasa, Sulawesi,
Balikpapan, dan Amnbon. Kemudian pada bulan Februari 1942 pasukan Jepang
menduduki Pontianak, Makasar, Banjarmasin, Palembang, dan Bali.
Pendudukan terhadap Palembang lebih dulu oleh Jepang mempunyai arti yang sangat penting dan strategis, yaitu untuk memisahkan antara Batavia yang menjadi pusat kedudukan Belanda di Indonesia dengan Singapura sebagai pusat kedudukan Inggris. Kemudian pasukan Jepang melakukan serangan ke Jawa dengan mendarat di daerah Banten, Indramayu, Kragan (antara Rembang dan Tuban). Selanjutnya menyerang pusat kekuasaan Belanda di Batavia (5 Maret 1942). Pada tanggal 8 Maret 1942, Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (Gubernur Jenderal Belanda), Letnan Jenderal Ter Poorten (Panglima tentara Hindia Belanda), serta pejabat tinggi militer dan seorang penerjemah pergi ke Kalijati. Dari pihak Jepang hadir Letnan Jenderal Imamura. Dalam pertemuan itu, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Dengan demikian, secara resmi masa penjajahan Belanda di Indonesia berakhir. Jepang berkuasa di Indonesia. Bukan kemerdekaan dan kesejahteraan yang didapat bangsa Indonesia. Situasi penjajahan tidak berubah. Hanya kini yang menjajah Indonesia adalah Jepang.
Pendudukan terhadap Palembang lebih dulu oleh Jepang mempunyai arti yang sangat penting dan strategis, yaitu untuk memisahkan antara Batavia yang menjadi pusat kedudukan Belanda di Indonesia dengan Singapura sebagai pusat kedudukan Inggris. Kemudian pasukan Jepang melakukan serangan ke Jawa dengan mendarat di daerah Banten, Indramayu, Kragan (antara Rembang dan Tuban). Selanjutnya menyerang pusat kekuasaan Belanda di Batavia (5 Maret 1942). Pada tanggal 8 Maret 1942, Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (Gubernur Jenderal Belanda), Letnan Jenderal Ter Poorten (Panglima tentara Hindia Belanda), serta pejabat tinggi militer dan seorang penerjemah pergi ke Kalijati. Dari pihak Jepang hadir Letnan Jenderal Imamura. Dalam pertemuan itu, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Dengan demikian, secara resmi masa penjajahan Belanda di Indonesia berakhir. Jepang berkuasa di Indonesia. Bukan kemerdekaan dan kesejahteraan yang didapat bangsa Indonesia. Situasi penjajahan tidak berubah. Hanya kini yang menjajah Indonesia adalah Jepang.
Masa pendudukan Jepang merupakan periode yang paling
menentukan dalam sejarah Indonesia karena pemerintah militer Jepang
mengindoktrinasi, melatih, dan mempersenjatai generasi muda serta memberi
kesempatan kepada para pemimpin untuk berhubungan dengan rakyat di tingkat
bawah. Meskipun sama-sama ingin menguasai Indonesia, Belanda memaksakan suatu
ketenangan yang tertib, sedangkan Jepang memobilisasi rakyat. Dengan meminta
bantuan pemimpin-pemimpin Indonesia, Jepang mempolitisasi dan memobilisasi
rakyat hingga ke tingkat desa untuk kepentingan perang hingga menggoncang
kehidupan desa yang apolitis pada zaman kolonial Belanda. Peniadaan pengaruh
Belanda, baik dalam hal politik maupun budaya, membangkitkan kesadaran nasional
yang lebih mantap. Berbagai kebijakan Jepang itulah yang memungkinkan atau
mendorong lahirnya revolusi Indonesia menentang kehadiran kembali tentara
Belanda setelah Jepang menyerah. Di samping kebijakan yang secara tidak
langsung menguntungkan bangsa Indonesia, Jepang juga membuat kebijakan yang
sangat menyengsarakan. Membanjirnya mata uang pendudukan membuat tingkat
inflasi yang sangat tinggi, pengaturan pangan dan tenaga kerja secara paksa
(romusha), gangguan transportasi, dan kekacauan umum mengakibatkan timbulnya
kelaparan, kematian, dan kesengsaraan.
1. Kekuasaan
Jepang pada akhir masa pendudukan di Indonesia
·
Aspek ekonomi dan sosial
Pada
tahun 1944, kondisi politis dan militer Jepang mulai terdesak, sehingga
tuntutan akan kebutuhan bahan-bahan perang makin meningkat. Untuk mengatasinya
pemerintah Jepang mengadakan kampanye penyerahan bahan pangan dan barang secara
besar-besaran melalui Jawa Hokokai dan Nagyo Kumiai (koperasi pertanian), serta
instansi resmi pemerintah. Dampak dari kondisi tersebut, rakyat dibebankan
menyerahkan bahan makanan 30% untuk pemerintah, 30% untuk lumbung desa dan 40%
menjadi hak pemiliknya. Sistem ini menyebabkan kehidupan rakyat semakin sulit, gairah
kerja menurun, kekurangan pangan, gizi rendah, penyakit mewabah melanda hampir
di setiap desa di pulau Jawa salah satunya: Wonosobo (Jateng) angka kematian
53,7% dan untuk Purworejo (Jateng) angka kematian mencapai 224,7%. Bisa Anda
bayangkan bagaimana beratnya penderitaan yang dirasakan bangsa Indonesia pada
masa Jepang (bahkan rakyat dipaksa makan makanan hewan seperti keladi gatal,
bekicot, umbi-umbian).
Sulitnya
pemenuhan kebutuhan pangan semakin terasakan bertambah berat pada saat rakyat
juga merasakan penggunaan sandang yang amat memprihatinkan. Pakaian rakyat
compang camping, ada yang terbuat dari karung goni yang berdampak penyakit
gatal-gatal akibat kutu dari karung tersebut. Adapula yang hanya menggunakan
lembaran karet sebagai penutup.
·
Aspek kehidupan militer
Pembentukan Jawa
Hokokai. Memasuki tahun 1944 kondisi Jepang bertambah buruk. Satu persatu
wilayahnya berhasil dikuasai Sekutu, bahkan serangan langsung mulai diarahkan
ke negeri Jepang sendiri. Melihat kondisi tersebut pada tanggal 9 September
1944 PM Kaiso mendeklarasikan janji kemerdekaan untuk Indonesia di kemudian
hari. Janji ini semata-mata untuk memotivasi bangsa Indonesia agar tetap setia
membantu perjuangan militer Jepang dalam menghadapi Sekutu. Beberapa hari
sesudah janji kemerdekaan dibentuklah Benteng perjuangan Jawa ( Jawa Sentotai)
ini merupakan badan perjuangan dalam Jawa Hokokai, bahkan organisasi lainpun
dibentuk seperti Barisan Pelopor ( Suisyintai) dipimpin langsung oleh Ir.
Soekarno, Sudiro, RP. Suroso, Otto Iskandardinata dan Dr. Buntaran Martoatmojo.
2. Perlawanan
Rakyat Terhadap Jepang
Buruknya kehidupan rakyat mendorong timbulnya
perlawanan-perlawanan rakyat di beberapa tempat seperti:
a.
Pemberontakan dipimpin seorang ulama muda Tengku Abdul Jalil,
guru mengaji di Cot Plieng Lhokseumawe.
Usaha Jepang
untuk membujuk sang ulama tidak berhasil, sehingga Jepang melakukan serangan
mendadak di pagi buta sewaktu rakyat sedang melaksanakan salat Subuh. Dengan
persenjataan sederhana/seadanya rakyat berusaha menahan serangan dan berhasil
memukul mundur pasukan Jepang untuk kembali ke Lhokseumawe. Begitu juga dengan
serangan kedua, berhasil digagalkan oleh rakyat. Baru pada serangan terakhir
(ketiga) Jepang berhasil membakar masjid sementara pemimpin pemberontakan
(Teuku Abdul Jalil) berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh, namun
akhirnya tertembak saat sedang salat.
b.
Karang Ampel, Sindang (Kabupaten Indramayu)
Peristiwa
Indramayu terjadi bulan April 1944 disebabkan adanya pemaksaan kewajiban
menyetorkan sebagian hasil padi dan pelaksanaan kerja rodi/kerja paksa/Romusha
yang telah mengakibatkan penderitaan rakyat yang berkepanjangan. Pemberontakan
ini dipimpin oleh Haji Madriyan dan kawan-kawan di desa Karang Ampel, Sindang
Kabupaten Indramayu.Pasukan Jepang sengaja bertindak kejam terhadap rakyat di
kedua wilayah (Lohbener dan Sindang) agar daerah lain tidak ikut memberontak
setelah mengetahui kekejaman yang dilakukan pada setiap pemberontakan.
c.
Sukamanah (Kabupaten Tasikmalaya)
Perlawanan fisik
ini terjadi di pesantren Sukamanah Singaparna Jawa Barat di
bawah pimpinan KH. Zainal Mustafa, tahun
1943. Beliau menolak dengan tegas ajaran yang berbau Jepang, khususnya
kewajiban untuk melakukan Seikerei setiap pagi, yaitu memberi penghormatan
kepada Kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah matahari terbit.
Kewajiban Seikerei ini jelas menyinggung perasaan umat Islam Indonesia karena
termasuk perbuatan syirik/menyekutukan Tuhan. Selain itu beliaupun tidak tahan
melihat penderitaan rakyat akibat tanam paksa.Saat utusan Jepang akan
menangkap, KH. Zainal Mustafa telah mempersiapkan para santrinya yang telah
dibekali ilmu beladiri untuk mengepung dan mengeroyok tentara Jepang, yang
akhirnya mundur ke Tasikmalaya. mengakhiri pembangkangan ulama tersebut. Pada
tanggal 25 Februari 1944, terjadilah pertempuran sengit antara rakyat dengan
pasukan Jepang setelah salat Jumat. Meskipun berbagai upaya perlawanan telah
dilakukan, namun KH. Zainal Mustafa berhasil juga ditangkap dan dibawa ke Tasikmalaya kemudian
dibawah ke Jakarta untuk
menerima hukuman mati dan dimakamkan di Ancol. Peristiwa ini dinamakan peristiwa
Singaparna.
d.
Pemberontakan Blitar
Pada tanggal 14
Pebruari 1945 terjadi pemberontakan PETA di bawah pimpinan Supriyadi (putra
Bupati Blitar). Dalam memimpin pemberontakan ini Supriyadi tidak sendirian dan
dibantu oleh teman-temannya seperti dr. Ismail, Mudari, dan Suwondo. Pada
pemberontakan itu, orang-orang Jepang yang ada di Blitar dibinasakan.
Pemberontakan heroik ini benar-benar mengejutkan Jepang, terlebih lagi pada
saat itu Jepang terus menerus mengalami kekalahan di dalam Perang Asia Timur
Raya dan Perang Pasifik. Kemudian Jepang mengepung kedudukan Supriyadi, namun
pasukan Supriyadi tetap mengadakan aksinya. Jepang tidak kehilangan akal, ia
melakukan suatu tipu muslihat dengan menyerukan agar para pemberontak menyerah
saja dan akan dijamin keselamatannya serta akan dipenuhi segala tuntutannya.
Tipuan Jepang tersebut temyata berhasil dan akibatnya banyak anggota PETA yang
menyerah. Pasukan PETA yang menyerah tidak luput dari hukuman Jepang dan
beberapa orang dijatuhi hukuman mati seperti Ismail dan kawan-kawannya. Di
samping, itu ada pula yang meninggal karena siksaan Jepang.
Teuku Hamid
adalah seorang perwira Giyugun,
bersama dengan satu pleton pasukannya melarikan diri ke hutan untuk melakukan perlawanan.
Ini terjadi pada bulan November 1944. Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah
Jepang melakukan ancaman akan membunuh para keluarga pemberontak jika tidak mau
menyerah. Kondisi tersebut memaksa sebagian pasukan pemberontak menyerah,
sehingga akhirnya dapat ditumpas. Di daerah Aceh lainnya timbul pula upaya perlawanan
rakyat seperti di Kabupaten Berenaih yang dipimpin oleh kepala kampung dan
dibantu oleh satu regu Giyugun (perwira tentara sukarela), namun semua berakhir
dengan kondisi yang sama yakni berhasil ditumpas oleh kekuatan militer Jepang
dengan sangat kejam.
f.
Perlawanan Pang Suma
Perlawanan Rakyat
yang dipimpin oleh Pang Suma berkobar di Kalimantan Selatan. Pang
Suma adalah pemimpin suku Dayak yg
besar pengaruhnya dikalangan suku-suku di daerah Tayan dan Meliau. Perlawanan ini bersifat gerilya untuk
mengganggu aktivitas Jepang diKalimantan.
Momentum perlawanan Pang Suma diawali dengan pemukulan seorang
tenaga kerja Dayak oleh pengawas Jepang, satu di antara sekitar 130 pekerja
pada sebuah perusahaan kayu Jepang. Kejadian ini kemudian memulai sebuah
rangkaian perlawanan yang mencapai puncak dalam sebuah serangan balasan Dayak
yang dikenal dengan Perang Majang Desa, dari April hingga Agustus 1944 di
daerah Tayan-Meliau-Batang Tarang (Kab. Sanggau).
Sekitar 600 pejuang kemerdekaan dibunuh oleh Jepang, termasuk Pang Suma.
3. Masa
Berakhir Penjajahan Jepang
Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di
atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral
semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi
Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk
lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada
tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga
menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun
dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Soekarno Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman
Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di
sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka
dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan
kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 14
Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang
telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap
memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan
sebagai hadiah Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal
Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman
bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan
proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara
kerja PPKI. Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 24 Agustus.
Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman
kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera
memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai
tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada
Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti
dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di
Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi
kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan
dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno
mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan
karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara
itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi
kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang.
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu.
Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang
telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu.
Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui
radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan
muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan
terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan
dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat
PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan
kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang
(Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan
Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong. Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo
kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara
(Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan
ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum
menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari
Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di
kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan. Rombongan Soekarno-Hatta tiba di
Jakarta sekitar pukul 23.00. Langsung menuju rumah Laksamana Tadashi Maeda di
Jalan Imam Bonjol No.1, setelah lebih dahulu menurunkan Fatmawati dan putranya
di rumah Soekarno. Rumah Laksamada Maeda, dipilih sebagai tempat penyusunan
teks Proklamasi karena sikap Maeda sendiri yang memberikan jaminan keselamatan
pada Bung Karno dan tokoh-tokoh lainnya. Hari Jumat di bulan Ramadhan, pukul
05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 Para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda
keluar dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah
merumuskan teks Proklamasi hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan
kemerdekaan bangsa Indonesia hari itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur
No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Bung Hatta sempat berpesan kepada para
pemuda yang bekerja pada pers dan kantor-kantor berita, untuk memperbanyak
naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia.
Kesimpulan
Pada tahun 1944, kondisi politis dan
militer Jepang mulai terdesak, sehingga tuntutan akan kebutuhan bahan-bahan
perang makin meningkat. Untuk mengatasinya pemerintah Jepang mengadakan kampanye
penyerahan bahan pangan dan barang secara besar-besaran melalui Jawa Hokokai
dan Nagyo Kumiai (koperasi pertanian), serta instansi resmi pemerintah. Dampak
dari kondisi tersebut, rakyat dibebankan menyerahkan bahan makanan 30% untuk
pemerintah, 30% untuk lumbung desa dan 40% menjadi hak pemiliknya. Sistem ini
menyebabkan kehidupan rakyat semakin sulit, gairah kerja menurun, kekurangan
pangan, gizi rendah, penyakit mewabah melanda hampir di setiap desa di pulau
Jawa salah satunya: Wonosobo (Jateng) angka kematian 53,7% dan untuk Purworejo
(Jateng) angka kematian mencapai 224,7%.
Perlawanan rakyat juga mulai terjadi
di berbagai daerah di Indonesia seperti di Lhouksumawe, Blitar, Aceh,
Kalimantan, Indramayu dll.. Dengan bekal seadanya rakyat mulai berani untuk
berperang melawan Jepang. Hingga akhirnya Jepang
menyerah
pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 dan pada tanggal 17 Agustus 1945
Indonesia bisa memproklamasikan kemerdekaannya.
Comments
Post a Comment